Akhirnya nonton film dokumenter panjang lagi! Menontonnya pun terasa istimewa, karena rame-rame dan langsung berdiskusi pula. Yep, YPBB bekerjasama sama Walhi bikin acara Markinon lagi. Kali ini film yang kita tonton bersama judulnya “Children of the Amazone”.
Film produksi tahun 2008 ini sudah saya nobatkan menjadi salah satu film dokumenter favorit saya. Si pembuatnya, Denise Zmekhol, bertutur dengan luwes sekali membawa saya ke dalam Hutan Amazon. Saya suka sekali cara Zmekhol bermain kamera š
Hutan Amazon merupakan hutan terluas di dunia, wilayahnya merupakan bagian dari 9 negara di Amerika Latin. Pada 1987, Zmekhol yang asal Brazil ini datang ke Amazon untuk mengabadikan keindahannya. Zmekhol mendokumentasikan kehidupan Suku Surui dan Suku Negarote, juga kehidupan para penyadap karet yang telah menjadikan hutan sebagai rumah mereka. 15 tahun kemudian Zmekhol kembali, banyak perubahan ia temui dari Amazon.
“When I first came to the amazone, the forrest was like a dream. A beautiful mistery.”
–Denise Zmekhol
Sejak era 60-an, suku asli Amazon mulai mengalami kontak dengan pendatang. Sejak terjadi kontak tersebut, mereka mulai terserang penyakit. Flu, peunomia dan campak bahkan membuat jumlah Suku Surui berkurang secara drastis. 700 orang meninggal, tersisa hanya 200 orang saja. Kebanyakan yang meninggal adalah para tetua. Seiring dengan meninggalnya para tetua, begitu juga dengan cerita, lagu dan upacara dari mereka. Ini karena Surui hanya memiliki budaya lisan yang diwariskan secara turun-temurun.
Kehidupan suku pedalaman ini berubah seiring aspal mengokohkan jalan melintasi Amazon. Tak urung Bank Dunia yang mendanainya. Pemerintah Brazil pun menjanjikan imbalan untuk warganya yang akan membuka hutan. Lahan hutan baik untuk pertanian dan peternakan, begitu bujuk rayunya.
Benarkah baik? Sayangnya jalan menuju hal baik ini tidak dijalani dengan baik. Membuka hutan dengan seenak udel, dibakar, ditebangi, tanpa perencanaan untuk hutan dan penghuninya. Konflik tak diundang pun terundang, para suku indian dan penyadap karet mempertahankan Amazon, rumah mereka, melawan pendatang yang semena-mena ingin menguasai hutan.
Di garis depan adalah Chico Mendes, bos penyadap karet ini berbicara di depan khalayak internasional untuk menyelamatkan Amazon. Dituntutnya wilayah konservari khusus dan jaminan perlindungan untuk hutan, untuk orang-orang indian, untuk para penyadap karet.
Hutan Amazon adalah penghasil 20% oksigen dunia. Kini lebih dari 600.000 km2 pabrik oksigen ini hancur, tergilas roda pembangunan.
Itu kan Amazon, Kita?
Sebagai orang yang tinggal di kota, rasanya yang kebayang kalau ditanya hutan ya mana lagi kalau bukan Taman Hutan Raya Juanda, hehe š
Setelah berbagi kesan dan komentar tentang film yang baru ditonton, Kang Rikrik sang MC melontarkan pertanyaan, “Ada yang punya pengalaman dengan hutan?”
Dan tada! OVJ dimulai.
Yang paling panjang ceritanya adalah Bram dan Kang Adhi, Teh Anil bahkan senang sekali ada “tukang ocon baru” š

Kang Adhi dan Bram
“Saya pernah membuka hutan,” kata Bram. Jadi, dulu di Lampung Bram pernah beli gunung yang sebenarnya bingung juga mau beli ke siapa. Tidak jelas lahan milik siapa. Setelah negosiasi dengan (oknum) penduduk setempat dan memberikan sejumlah uang, ditebanglah pohon-pohonnya. “Ya gundul, penduduk setempat protes.”
Menurut Bram, sebenarnya penduduk di sana punya hukum adat tersendiri yang mengharuskan menanam sejumlah pohon untuk setiap pohon yang ditebang. “Tapi ada oknum yang nawarin, masih penduduk situ juga, dia yang ngurus saya tinggal bayar uang.”
Kang Adhi menambahkan, biasanya pihak-pihak yang berkepentingan menjadi provokator saat pemerintah membuat kebijakan.
Ami juga cerita tentang pengalaman temannnya di Bogor. Mereka terpaksa menjual lahan hutan kota untuk kepentingan bisnis.
Teh Desra dari Aceh, lain lagi ceritanya. Pemerintah disana berencana akan membuka hutan untuk kepentingan wisata dan lain-lain. Pihak pemerintah beralasan “hutannya masih luas ini”. Lalu kami berbagi pendapat..
Bram: “Unjuk rasa aja se-Aceh.” Ā #langsung ditolak forum
Kang Supe: “Kalau memang mau dibuka, harus ada aturan yang jelas.”
Kang Rikrik: “Kumpulkan fakta-fakta yang mendukung argumen kita agar lebih kuat baru disampaikan.”
Kabar tentang Aceh ini menjadi bahasan terakhir diskusi kami.

semua peserta Markinon "Children of the Amazone"
Saya pribadi jadi berpikir, benarkah kebutuhan manusia sebanyak itu, sampai harus terjadi kerusakan? Cuma pengen atau beneran butuh? Selama ini interaksi saya dengan hutan kebanyakan hanyalah sebatas interaksi tidak langsung. Mungkin secara tidak langsung saya pernah merugikan hutan. Dan tentu saja, walaupun secara tidak langsung kita juga bisa ikut menolong hutan agar tetap lestari.
“Sekecilnya apapun tindakan kita coba dipikirkan, pasti akan ada efek logisnya,” kata Kang Rikrik.
Hayu ah, bertindak. š